Site icon Inspirasi Muslimah

Air Mata Air

air mata air

Wahyudi Akmaliah

Akhirnya, air matamu tumpah malam itu. Kamu menatapku dengan tetesan air mata yang membasahi pipi sambil memegang kandunganmu yang berusia tujuh bulan. Saat itu aku betul-betul dicekam penasaran dan tak bisa menerka, apa sebenarnya yang terjadi, apakah akhir-akhir ini aku sering berbuat salah, baik tindakan mau ucapan sehingga membuatmu tersinggung hingga berbuah tangisan? Ataukah memang ini sekadar sensitivitas seorang perempuan yang sedang hamil di saat malam menjelang dan membutuhkan dekapan? Aku akui ini bukan terakhir kalinya kamu menangis. Namun, tangisan malam itu benar-benar terasa berbeda dan aku begitu merasakannya.

”Bunda ada apa? Cerita ya sama ayah?” Ujarku menguatkan hatimu.

Perlahan-lahan emosimu mulai stabil dan tangisanmu pun reda.

Ayah, bunda takut membayangkan. Kalau nanti bunda sudah berhenti dari pekerjaan ini, sementara ayah belum mendapatkan pekerjaan. Lalu, gimana?” Ujarmu dengan sendu.

Sungguh jawaban itu benar-benar membuatku terenyuh. Aku ingin rasanya menangis bersamamu, meratapi usaha kerasku mencari pekerjaan yang tak kunjung aku dapatkan. Merenungi doaku yang tak lekas terkabulkan. Tapi, jika aku ikut meratapi atas kondisi yang menimpa kita, tentu hal ini akan membuatmu bertambah sedih. Karena itu, di tengah kerapuhanku menatap masa depan ekonomi keluarga kita, aku tetap berusaha menguatkanmu.

Dengan sekuat tenaga, aku menguatkanmu. ”Bunda percaya dengan ayah enggak?”, aku berusaha meyakinkan dirimu kembali dengan keyakinan penuh seluruh.

Kamu mulai terlihat tenang. Aku lalu melanjutkan. ”Dahulu saat kita mau menikah tidak memiliki uang yang cukup. Kita bahkan sempat khawatir bahwa pernikahan itu akan gagal mengingat minimnya dana yang kita punya. Namun, setelah berusaha mencari dana untuk menutupinya dan diiringi dengan doa, akhirnya kita bisa melewati pernikahan dan resepsinya itu. Uang yang kita pinjam dari seorang teman pun kita bisa kembalikan secepatnya. Kita tidak hanya memulai rumah tangga dari angka nol, melainkan memulai dari minus.

Kamu tersenyum mendengar penjelasanku. Aku pun menambahkan, ”Bunda masih ingat enggak ketika banyak orang bertanya kapan kiranya bunda memiliki momongan. Pertanyaan itu bukan sekedar mengusikmu, tapi menganggu tidur nyenyakmu. Sampai satu waktu kamu pernah menangis dan menceritakan perihal ini kepadaku. Meskipun kamu tahu. Jarak yang terbentang di antara kita setelah tiga hari pernikahan itu sungguh menyulitkan untuk melakukan program memiliki momongan. Walaupun ada beberapa hari jeda di mana aku bisa mengunjungimu dari rehat kuliah S2-ku, hal itu tak membuahkan hasil. Kondisi ini makin membuatmu begitu gelisah, khawatir Allah belum memberikan amanat dengan hadirnya buah hati di tengah keluarga kecil kita.”

Kamu tersenyum mendengarkan penjelasanku. Aku kembali menjelaskan. ”Lalu, saat kamu memiliki waktu untuk mengunjungiku di Manila dan kita memiliki kesempatan untuk beribadah. Kita diberikan anugerah luar biasa. Dua minggu kemudian, lewat alat penguji kehamilan dan mengecek kepada dokter kandungan, kamu dinyatakan hamil. Saat itu aku sudah kembali dari sekolah dan kita tidak berpisah jauh kembali. Allah begitu mengerti hamba-Nya dan memberikan anugerah dibsaat dan waktu yang tepat”, ujarku panjang lebar. Aku sekali lagi, berusaha  menguatkanmu kembali. Mendengar penjelasanku ini wajahmu berubah dan berlahan-lahan mulai ceria kembali. Kamu menatapku penuh harap seperti sebelumnya.

Alhamdulillah, penjelasanku ini bisa meredakan tangisanmu dan memunculkan senyum wajahmu yang menyunggingan lesung pipi yang begitu aku sukai. Aku akui, dalam hati aku sebenarnya rapuh. Aku masih tetap gelisah memandang ke depan. Asaku semakin surut ketika melihat ke belakang dimana kegagalan demi kegagalan selalu menghampiri proses ikhtiarku dalam mendapatkan pekerjaan. Aku begitu khawatir ketika perutmu semakin membesar dan usia kehamilanmu semakin bertambah. Sementara puluhan aplikasi yang aku kirimkan belum jua mendapatkan jawaban, apalagi panggilan. Namun, semua kegelisahan itu sulit aku jelaskan kepadamu di tengah usia kandunganmu yang terus membesar. Aku hanya khawatir, kegelisahan ini bisa berakibat buruk pada kandunganmu.

Di titik kerapuhan ini aku hanya bisa pasrah dan melakukan yang terbaik atas usaha yang aku lakukan. Aku hanya bisa mengucapkan syukur karena telah diberikan rejeki sehingga aku sekeluarga masih bisa makan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku akan tetap menulis dan menulis untuk mencari ruang penghidupan dan pengharapan. Tulisanku ini adalah salah satu bentuk syukur, doa, dan harapan kepada-Mu ya Rab yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi rejeki.

Bagikan
Exit mobile version