Site icon Inspirasi Muslimah

Ahmad Syafii Maarif; Adil Gender Tak Sekadar Teori

syafii maarif

Ahmad Syafii Maarif

Halo Rahmania semua! Semoga Rahmania sekalian senantiasa sehat dan Allah berikan keberkahan pada setiap jengkal kehidupannya, amin. Rahmania yang budiman, di Indonesia tak kurang dari ratusan lusin pemikir dan buah pikirnya tentang konsep kesetaraan gender, keadilan gender, relasi kuasa, fenimisme, konsep mubadalah, dsb terproduksi dalam ruang-ruang literasi dan diskusi. Di sekitar kita mungkin juga bertebaran para pemikir tersebut, atau mungkin kita termasuk di dalamnya; yang ketika sudah naik mimbar lantang suara mengaum bak raja hutan belantara.

Namun pernahkah kita melihat, atau bahkan mengalami, kesulitan atau bahkan kondisi di mana kita tidak mampu, atau bahkan tidak mau, mengamalkan pemahaman, keyakinan, atau cara pandang kita tentang kesetaraan gender, adil gender, prinsip mubadalah, dsb. Karena tak jarang para aktivis ini, hanya berhenti pada tataran ide dan gagasan, namun tak mampu mempraktikkannya, entah karena faktor internal maupun eksternal.

Seorang intelektual muslim, mercusuar peradaban, kompas dan muazin bangsa, Buya Syafii Maarif mencontohkan sendiri tentang bagaimana memahami ajaran agama yang rahmah, memahami teori-teori adil gender sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesetaraan Gender Menurut Buya

“Dalam perspektif ini, jika ada kaum laki-laki yang merendahkan dan menghina perempuan, jelas mereka adalah jenis manusia yang berada di luar wilayah peradaban. Akan tetapi, untuk tetap memuliakan, kaum perempuan harus pula tetap menjaga martabat dan   kehormatanan dirinya.”

Ungkapan Buya Syafii Maarif dalam Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman ini memiliki makna yang amat sangat mendalam. Buya memandang bahwa laki-laki harus menghargai dan menjunjung tinggi kehormatan perempuan; mengingat perempuan memiiki andil yang sangat besar dalam menjaga keberadaan manusia di muka bumi, dengan cara mengandung dan melahirkan. Namun selain itu Buya juga mengingatkan agar perempuan juga tetap menjaga dirinya sendiri.

Pada suatu titik Buya juga memberikan kritik terhadap pemikiran Nietzhe, “Perempuan harus membisu dalam masalah politik dan perkataannya perempuan tidak paham apa makna makanan tetapi tetap saja mereka ingin masak”. Menurutnya pemikiran Nietzhe tersebut tidak relate dengan kehidupan dewasa ini. Sependek bacaan penulis, Buya memberikan sinyal agar perempuan diperlakukan baik oleh laki-laki. Di antaranya keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah sama, tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk; semuanya saling mengimbangi, dan melengkapi.

Buya Syafii Membaca An-Nisa’ : 43

Sebagaimana kita ketahui bersama, Surat An-Nisa’ ayat 43 secara tekstual menyebutkan bahwa laki-kai merupakan pemimpin bagi perempuan. Kadangkala dalil ini hanya sebagian orang baca dan artikan secara tekstual, namun tidak memperhatikan sisi kontekstualnya. Ya mungkin karena tidak semua orang paham bahwa dalil agama tidak boleh hanya dimaknai tekstual namun perlu juga kontekstualnya.

Buya Syafii Ma’arif dalam Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman berpendapat bahwa jika ayat ini orang-orang maknai secara tekstual maka akan muncul superioritas. Lebih dalam Buya menawarkan tafsiran ataupun interpretasi yang moderat (tengahan) dalam membaca ayat ini. Menurut Buya tafsiran ataupun interpretasi yang moderat akan lebih adil, wajar dan proporsional.

Buya pada beberapa kesempatan menyampaikan perihal pandangan di atas, bahwa Al-Qur’an terlebih Islam memberikan peluang yang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan diri dan karirnya. Sehingga menurut Buya, pemahaman laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan tidak dapat menjadi hujjah (rujukan). Lebih lanjut, dalam pandangan Buya, ayat ini memiliki titik fokus pada spiritnya, bukan materinya; di antaranya : kapasitas, kualitas, dan proporsionalitas antara laki-laki dan perempuan.

Buya dan Kasih Sayang Terhadap Keluarga

Di usia 87 tahun ini, Buya Syafii Maarif senantiasa tegak berdiri mengamalkan tiap jengkal ilmu pengetahuan yang ia miliki. Meski mendapat berbagi penghargaan, bahkan mendapat tittle dari Gus Dur “Pendekar dari Chicago” bersanding dengan Amin Rais dan Nurcholis Majid, Buya tidak pernah jumawa, bahkan superior. Alih-alih menjadi tokoh yang elitis, Buya menampakkan kesederhanaan dan kasih sayang terhadap keluarga.

Buya pernah bercerita kepada beberapa kader kinthilannya tentang perjalanan hidup Buya bersama istri tercinta Hj. Nurkhalifah. Termasuk ketika menemui permasalahan di dalam rumah tangga, kemudian terjadi adu argumen, Buya tidak pernah kasar dengan Bunda Lip.

Manajerial Buya juga tak bisa diragukan lagi, di awal pernikahan dengan pemasukan yang tidak seberapa, Buya mampu menghidupi dirinya dan istri. Kemudian setelah diangkat menjadi asisten pegawai negeri, Buya mulai menyicil rumah untuk ia dan sang istri. Dalam kesehariannya Buya juga tak jarang melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu dan menyiram tanaman. Dan masih banyak lagi tauladan yang Buya berikan kepada kita tentang adil gender, mubadalah, dsb.

Selamat Milad 87 Tahun Buya, terimakasih telah menjadi tauladan yang sangat luar biasa bagi kami. Manusia wafat meninggalkan nama, penulis wafat meninggalkan karya, tokoh wafat meninggalkan jejak, dan ketiganya ada di Buya. Jika ada muslim nasionalis ataupun muslim regius, dua-duanya ada di Buya, Muslim 100%. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya Buya, Al Fatihah.

Bagikan
Exit mobile version